Jakarta - Gubernur DKI
Jakarta nonaktif, Basuki Tjahja Purnama (Ahok) berpeluang bebas di
pengadilan. Jaksa penuntut umum (JPU) diyakini bakal mengalami kesulitan
membuktikan dakwaan perkara penistaan agama yang dikenakan kepada Ahok
dalam persidangan nantinya.
"Tindakan menista agama yang dilakukan di muka publik bahkan direkam dan dilakukan menjelang pilkada dimana Pak Basuki menjadi salah satu calon gubernur, sangat tidak logis dan justru merugikan kepentingannya sendiri. Fakta ini tentu menambah beban JPU dalam pembuktian," kata pakar hukum dari Unpar, Bandung, Agustinus Pohan, saat dihubungi Suara Pembaruan dari Jakarta, Kamis (17/11).
"Tindakan menista agama yang dilakukan di muka publik bahkan direkam dan dilakukan menjelang pilkada dimana Pak Basuki menjadi salah satu calon gubernur, sangat tidak logis dan justru merugikan kepentingannya sendiri. Fakta ini tentu menambah beban JPU dalam pembuktian," kata pakar hukum dari Unpar, Bandung, Agustinus Pohan, saat dihubungi Suara Pembaruan dari Jakarta, Kamis (17/11).
Pohan menampik saat disinggung perkara Ahok sulit dibuktikan nantinya
di pengadilan lantaran penyidik Polri memiliki keraguan meningkatkan
status kasus Ahok dari penyelidikan ke penyidikan. Dia menilai,
kesulitan pembuktian tidak otomatis dapat diukur dari tidak bulatnya
sikap penyidik.
Menurutnya, dalam perkara penistaan agama, jaksa patut membuktikan
adanya unsur penistaan. Dalam kaitan Ahok, kata Pohan, masih terjadi
perdebatan apakah pernyataan Ahok yang menyebut surat Al Maidah 51 dapat
dikategorikan sebagai penistaan.
"Persoalan lainnya adalah kewajiban untuk membuktikan bahwa
pernyataan tersebut secara sengaja untuk menista. Dalam hal ini
setidaknya harus dibuktikan adanya kesadaran dari Pak Basuki bahwa
pernyataannya tersebut mempunyai makna penistaan. Pembuktiannya dapat
dilakukan secara normatif, artinya tidak bergantung pada adanya
pengakuan, dalam hal tidak ada pengakuan, maka pembuktian masalah
"kesengajaan" merupakan hal yang sangat tidak mudah," ujarnya.
Pohan juga membantah dalil yang menyebut Pasal 156a KUHP untuk
menjerat Ahok merupakan delik formil yang tidak harus dibuktikan adanya
niat jahat (mens rea) dari pelaku. Menurutnya, mens rea merupakan syarat
mutlak dalam setiap tindak pidana.
"Mens rea merupakan syarat mutlak untuk setiap tindak
pidana, dengan sendirinya termasuk dalam delik formil. Asas hukum yang
dianut kita adalah 'tiada pidana tanpa kesalahan'," katanya.
Sedangkan pakar hukum pidana, Andi Hamzah, bersikap sebaliknya. Dia
menilai, kasus dugaan penistaan agama yang membelit Ahok tergolong mudah
dibuktikan. Sebab, perkara penistaan agama yang diatur dalam Pasal 156a
KUHP merupakan delik formil yang tidak perlu membuktikan adanya niat
jahat dari pelaku.
"Itu terlalu mudah dibuktikan karena delik formil begitu diucapkan terjadi delik," kata Andi Hamzah.
Ahok mengucapkan serangkaian kalimat salah satunya, "dibohongi pakai surat Al Maidah 51"
saat berbicara di hadapan warga Kepulauan Seribu. Buntutnya, pernyataan
tersebut menuai polemik dan Ahok ditersangkakan Mabes Polri, Rabu
(16/11), kendati penyidik Polri terpecah melihat kasus tersebut.
Menurut Andi Hamzah, kasus Ahok tak jauh berbeda dengan kasus Lia
Eden yang dipidana 2 tahun penjara karena mengaku mendapat wahyu dari
Malaikat Jibril pada tahun 2006. Lia Eden mengucapkan hal itu tanpa
mengutip satupun ayat Al Quran.
Dengan demikian, Andi menilai, tugas berat berada di pundak penasehat
hukum Ahok untuk membuktikan tidak adanya unsur penistaan dalam Pasal
156a KUHP dan Pasal 28 ayat 2 UU ITE yang disangkakan kepada Ahok.
"Itu tugas penasehat hukum untuk membuktikan di pengadilan," katanya.
Erwin C Sihombing/FER
Suara Pembaruan